Tuesday 29 November 2011

BLIGHTED OVUM (KEHAMILAN KOSONG)


BLIGHTED OVUM (KEHAMILAN KOSONG)
1.      Definisi
Blighted Ovum (BO) adalah kehamilan tanpa janin (anembryonic pregancy), jadi cuma ada kantong gestasi (kantong kehamilan) dan air ketuban saja.
2.      Etiologi
Ø      Kelainan kromosom pada saat proses pembuahan sel telur dan sel sperma (kualitas sel telur yang tidak bagus.)
Ø      Infeksi dari torch, kelainan imunologi dan penyakit diabetes dapat ikut menyebabkan terjadinya blighted ovum
Ø      Faktor usia
Semakain tinggi usia suami atau istri, semakin tinggi pula peluang terjadinya blighted ovum.
3.      Patogenesis
Pada saat pembuahan, sel telur yang matang dan siap dibuahi  bertemu sperma. Namun dengan berbagai penyebab (diantaranya kualitas  telur/sperma yang buruk atau terdapat infeksi torch), maka unsur janin tidak berkembang sama sekali. Hasil konsepsi ini akan tetap tertanam didalam rahim lalu rahim yang berisi hasil konsepsi tersebut akan mengirimkan sinyal pada indung telur dan otak sebagai pemberitahuan bahawa sudah terdapat hasil konsepsi didalam rahim. Hormon yang dikirimkan oleh hasil konsepsi tersebut akan menimbulkan gejala-gejala kehamilan seperti mual, muntah dan lainya yang lazim dialami ibu hamil pada umumnya.
4.      Manifestasi Klinis
Ø Pada awal kehamilan berjalan baik dan normal tanpa ada tanda-tanda kelainan
Ø Kantung kehamilan terlihat jalas, tes kehamilan urin positif
Ø Blighted ovum terdeteksi saat ibu melakukan USG pada usia kehamilan memasuki 6-7 minggu.
5.      Pencegahan
Ø Menghindari masuknya virus rubella ke dalam tubuh. Selain imunisasi, ibu hamil pun harus selalu menjaga kebersihan diri dan lingkungan tempat tinggalnya.
Ø Sembuhkan dahulu penyakit yang diderita oleh calon ibu. Setelah itu pastikan bahwa calon ibu benar-benar sehat saat akan merencanakan kehamilan.
Ø Melakukan pemeriksaan kromosom
Ø Tak hanya pada calon ibu, calon ayah pun disarankan untuk menghentikan kebiasaan merokok dan memulai hidup sehat saat prakonsepsi.
Ø Periksakan kehamilan secara rutin. Sebab biasanya kehamilan kosong jarang terdekteksi saat usia kandungan masih di bawah delapan  bulan.
6.      Pemeriksaan Penunjang
Ø Tes kehamilan: Positif
Ø Pemeriksaan DJJ
Ø Pemeriksaan USG abdominal atau transvaginal akan mengungkapkan ada tidaknya janin yang berkembang dalam rahim
7.      Asuhan Keperawatan
a.       Pengkajian
Ø Identitas klien meliputi : nama, uumr, agama, pekerjaan, pendidikan, alamat, status perkawinan
Ø Data umum kesehatan meliputi: tinggi badab, berat badan, masalah kesehatan khusus, obat-obatan.
Ø Perdarahan, haid terakhir dan pola siklus haid
b.      Pemeriksaan fisik umum
Keadaan umum, TTV, jika keadaan umum buruk lakukan resusitasi dan stabilisasi segera.
c.       Pemeriksaan genikologi
Ada tidaknya tanda akut abdomen jika memungkinkan, cari sumber perdarahan, apakan dari dinding vagina atau dari jaringan servik.
d.      Jika diperlukan ambil darah untuk pemeriksaan penunjang
e.       Pemeriksaan vaginal touche: bimanual tentukan besat dan letak uterus, tantukan juga apakah satu jari pemeriksa dapat dimasukkan kedalam ostium dengan mudah atau tidak.
8.      Diagnosa Keperawatan
1.      Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan
2.      Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan
3.      Risiko terjadi infeksi berhubungan dengan tindakan kuretase
DAFTAR PUSTAKA
Doenges M. E. (2001). Rencana Perawatan Maternal/Bayi. Jakarta: EGC.
Hanifa W. (2006). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Mochtar R. (1998). Sinopsis Obstetri Fisiologi dan Patologi. Ed 2. Jakarta: EGC
Bobak. (2005). Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta:EGC

Monday 28 November 2011

lp kista

KONSEP DASAR
KISTA OVARIUM
 
A.     Definisi
Kista adalah kantong tertutup yang normal atau abnormal berlapis jaringan epitel dan mengandung cairan atau bahan setengah padat. (Ramali, 2000)
Kista ovarium adalah kista yang sederhana yang memiliki struktur dinding yang tipis mengandung cairan serosa. (Mansjoer, 2000)
Kista ovarium adalah neoplasma jinak yang berasal dari ovarium bersifat kistik. Pada umumnya tumor jinak ovarium kistik sering disebut Kistoma Ovarii. (Manuaba, 2000)
 
B.     Klasifikasi
Pembagian tumor ovarium secara praktis.
1.      Kistoma Ovarii Simpleks
Adalah kista yang permukaannya rata dan halus, biasanya bertangkai sering kali bilateral dan dapat menjadi besar, dinding kista tipis, berisi cairan jernih serosa dan berwarna kuning.
2.      Kista Ovarii Serosum
Kista ini berasal dari epitel germinativum, bentuk unikular, bila multikular di curigai adanya keganasan. Kista ini dapat membesar tetapi tidak sebesar kista musinosum.
3.      Kista Ovarii Nusinosum
Kista ini berasal dari teratoma bentuk kista multilokular biasanya unilateral dapat tumbuh menjadi sangat besar
4.      Kista Dermoid
Adalah teratoma kistik jinak dengan struktur ektodermal beridentifikasi sempurna dan lebih menonjol daripada mesoderm dan entoderm. Dinding kista keabu-abuan dan agak tipis.
 
C.     Etiologi
1.      Perubahan fungsional dalam ovarium
2.      Epitelium embrionik abnormal
( Mansjoer, 2000 )
D.    Manifestasi Klinis
1.      Ileus
2.      Asites
3.      Perubahan hormonal haid
4.      Gangguan miksi
5.      Obstipasi karena desakan
6.      Oedem pada tungkai bawah
7.      Rasa sesak karena desakan diafragma ke paru-paru
(Mansjoer, 2000)
E.     Patofisiologis
Kista menerima darah melalui suatu tungkai. Kadang-kadang dapat terjadi torsi yang mengakibatkan gangguan sirkulasi. Gangguan ini dapat menyebabkan pendarahan dalam kista dan perubahan degeneratif yang memudahkan timbulnya perlekatan kista dengan omentum. Usus-usus dan peritonium parietal. Pada pemeriksaan mikroskopis tampak dinding kista dilapisi oleh epitel torak tinggi dengan inti dasar sel, terdapat diantaranya sel-sel yang membundar karena tersilinder. Sel-sel epitel yang terdapat dalam satu lapisan mempunyai potensi untuk tumbuh seperti struktur kelenjar-kelenjar. Kelenjar dapat menjadi kista baru yang menyebabkan permukaan peritonium rongga perut dan dengan sekresinya menyebabkan pseudomikroma peritonii.
Pada umumnya gejala yang ditimbulkan oleh kista ovarium berkaitan dengan adanya benjolan/massa Intra Abdomen. Gejala yang ditimbulkan akibat pendesakan tumor ke organ sekitarnya.aktivitas hormonal tumor/kista itu sendiri dan komplikasi yang terjadi pada tumor tersebut paling sering penderita mengeluh adanya benjolan pada perut bagian bawah yang semakin lama dirasakan semakin membesar. Tumor dapat menekan organ seluruhnya seperti rectum, vesika urinaria sehingga penderita mempunyai ganggun BAB dan BAK. Infeksi kandung kemih pada tumor yang mendesak ureter akan terjadi penyumbatan aliran urine dari ginjal ke kandung kemih.
(Mansjoer, 2000)
F.      Komplikasi
1.      Asites / gejala sindrom perut
2.      Infeksi tumor
3.      Dinding robek
(Mansjoer, 2000)
G.    Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis kista ovarium diperlukan prosedur diagnosis sebagai berikut :
1.      Anamnesis
Anamnesis yang teliti dalam menegakkan diagnosis mulai dari kapan gejala timbul, pertumbuhan tumor cepat/lambat, keluhan/gejala lain yang menyertainya serta komplikasi yang ditimbulkan.
2.      Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum penderita, kesadaran penderita, pemeriksaan tanda-tanda vital seperti tekanan darah, nadi dan respirasi, pemeriksaan fungsi kardiovaskuler, fungsi traktus respiratorik dan pemeriksaan fungsi traktus digestivus secara umum.
 
 
3.      Pemeriksaan Genekologi
Palpasi abdomen
Pemeriksaan dalam vagina
(Mansjoer, 2000)
H.    Pemeriksaan Penunjang
1.      Pemeriksaan USG
Dapat diketahui konsistensi tumor, permukaan dan dinding tumor, besar tumor.
2.      Pemeriksaan Hormonal
Pada tumor tertentu dapat memproduksi hormon seperti asihor moblastoman yang memproduksi hormon androgen sehingga terjadi peningkatan.
3.      Foto Rontgen
Dengan pemeriksaan foto poros abdomen dikombinasikan dengan pemeriksaan Intra Venous Pilografi, keterlibatan tumor jaringan sekitar uretra.
(Mansjoer, 2000)
I.       Penatalaksanaan
1.      Non Invasif
Menurut fakultas kedokteran Universitas Padjajaran Bandung, bagian obstetri dan gynekologi bahwa penanganan kista non invasif adalah dengan memberikan terapi.
-         Clomiphene Citrate ( Clomide ) 50mg/hari selama 5 – 10 hari
-         Gonadotropine 5400 I.U @ 500 IU selama 3 hari
2.      Invasif
a.       Definisi Salphingooforektomi
Salphingooforektomi adalah pengangkatan tuba fallopi melalui insisi abdomen untuk mengatasi penyakit neoplastik / kista
b.      Komplikasi
Komplikasi salphingooforektomi meliputi
1)      Infeksi insisi
2)      Hemmoragi
c.       Perawatan pasien dengan salphingooforektomi
1)      Perawatan pra operasi
a)      Pastikan apakah pasien mengetahui alasan dilakukan salphingooforektomi, prosedur dan apa yang terjadi pasca operasi
b)      Anjurkan pasien untuk tetap puasa dari tengah malam sebelum pembedahan dan minta pasien berkemih sebelum pembedahan
c)      Lakukan enema sebelum pembedahan untuk mengeluarkan feses dan mencegah kontaminasi trauma sebelum pembedahan
d)      Berikan obat pra operasi untuk membuat pasien rileks
2)      Perawatan pasca operasi
a)      Berikan pengendalian nyeri yang adequat
b)      Anjurkan pasien menahan insisi ketika bergerak
c)      Anjurkan pasien untuk berambulasi segera mungkin untuk menurunkan flatus
d)      Pantau masukkan dan keluaran kandung kemih
e)      Berikan antibiotik sesuai advis dokter
(Mansjoer, 2000)

J. PATWAYS

A.     K. Konsep Asuhan keperawatan
1. Fokus pengkajian (Doengoes 2000)
a.  Aktivitas dan istirahat
Gejala : Kelemahan atau keletihan perubahan pada pola istirahat dan pada kebiasaan tidur malam hari, adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur misal : nyeri, ansietas, berkeringat malam.
b.    Sirkulasi
Gejala : Palpasi, nyeri dada pada pengarahan kerja
Tanda : Taxikardi, hipotensi
c.    Integritas ego
Gejala : Faktor stress (keuangan, pekerjaan, perubahan peran) dan cara mengatasi stress misal : merokok, minum alkohol, menunda mencari pekerjaan,keyakinan religius / spiritual) masalah tentang perubahan dalam penampilan, misal : lesi, pembedahan.
Tanda :  Menyangkal, menarik diri, marah
d.    Eliminasi
Gejala : Perubahan pada pola defekasi misal pada feses perubahan pada pola eliminasi misal : nyeri, rasa terbakar pada saat berkemih, hematuria, sering berkemih.
 
e.    Makanan dan cairan
Gejala : Kebiasaan diet buruk, Anoreksia, mual, muntah, perubahan pada berat badan
Tanda :  Perubahan pada kelembapan / tungor kulit, oedema
f.      Neurosensori
Gejala : Pusing
g.    Nyeri / kenyamanan
Gejala : Tidak ada nyeri / derajat bervariasi
h.    Pernafasan
Gejala : Merokok, pemajaman abses
i.      Keamanan
Gejala : Pemajaman pada kimia teknik
                     Pemajanan matahari berlebihan
Tanda : Demam
                     Ruam kulit, ulserasi                     
j.      Seksualitas
Gejala : masalah sexualitas
Misal : perubahan pada tingkat kepuasaan
k.    Interaksi sosial 
Gejala       : kelemahan sistem pendukung
 
 
2.    Diagnosa dan Intervensi
1.    Nyeri berhubungan dengan luka insisi sekunder terhadap tindakan pembedahan
Tujuan : Setelah dilakkan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang / hilang
KH       :   Klien dapat memperlihatkan pengurangan nyeri mampu tidur / istirahat dengan tepat.
Intervensi :
1)   Atur posisi klien dorong penggunaan teknik distraksi relaksasi
Rasional : Merileksasikan otot, menghilangkan perhatian dan sensasi nyeri distraksi dan relaksasi dapat mengurangi perasaan tidak menyenangkan
2)   Palpasi kandung kemih bila penuh dilakukan periode pengurangan dengan kateter.
Rasional : Membantu mencegah ketidaknyamanan karena distensi kandung kemih.
3)   Kolaborasi dalam pemberian analgetik
Rasional : Untuk mengurangi nyeri
4)   Berikan informasi dan petunjuk atisipasi penyebab ketidaknyamanan
Rasional : Membantu mengurangi nyeri dan ketakutan karena ketidaktahuan
5)   Kaji nyeri
Rasional: Membedakan karakteristik nyeri dan terjadinya komplikasi
6)   Monitor vital sign
Rasional :  Nyeri otot menyebabkan gelisah, serta tekanan darah dan nadi meningkat
2.    Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap pembedahan
Tujuan    : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi infeksi
KH         : 1. Klien dapat menjelaskan faktor resiko yang  berkaitan      dengan infeksi
2.  Tidak terdapat infeksi
Intervensi
1) Ganti balutan bila basah dengan teknik aseptik
Rasional: lingkungan lembab merupakan media terbaik tumbuhnya bakteri
2) Inspeksi balutan abdominal terhadap eksudat
    Rasional :     belum steril menutupi luka pada 24 jam pertama membantu melindungi luka / cidera / kontaminasi
3) Catat frekuensi / jumlah dan karakteristik urine
Rasional  :  status urine meningkat
4) Kaji suhu nadi dan jumlah sel darah putih
Rasional : dengan post op hari ke 3 leukositas dan takihardi menunjukkan infeksi
5) Kolaborasi pemberian antibiotik 
Rasional  :    mematikan kuman atau mikroba
3.    Resiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual dan anoreksia
Tujuan    :    Setalah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nutrisi klien terpenuhi
KH         :    Nafsu makan meningkat
Intervensi :
1)   Dorong klien untuk makan diet tinggi kalori protein, kaya nutrisi dengan masukan cairan adekuat
Rasional : Kebutuhan jaringan metabolik ditingkatkan begitu cairan
2)   Anjurkan klien untuk makan sedikit tapi sering
Rasional  :  dapat mengurangi mual
3)      Dorong teknik relaksasi sebelum makan
Rasional  :  dapat mencegah atau menurunkan mual, anorexia
4)      Pantau masukan cairan setiap hari
Rasioanal mengidentifikasi kekuatan / definisi nutrisi
5)      Dorong komunikasi terbuka mengenai masalah anorexia
Rasional :        Searing sebagai sumber diskasemon, khususnya untuk orang terdekat.
4.    Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik atau nyeri
Tujuan  : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien menunjukan peningkatan dalam mobilitas
KH         : Klien mulai mandiri dalam pemenuhan AKS
Intervensi :
1)   Anjurkan klien untuk tirah baring / alih posisi.
Rasional :  mencegah dekubitus                      
2)   Anjurkan klien untuk miring kanan miring kiri kemudian duduk.
Rasional :  membantu peningkatan mobilitas secara betahap
3)   Bantu klien untuk memenuhi kebutuhan ADL, seperti mandi BAK / BAB, makan / minum, ganti pakaian.
Rasional : mobilitas klien harus secara bertahap menurut kadar kemampuan
4)   Libatkan keluarga dalam pemenuhan ADL klien.
Rasional :   keterlibatan keluarga akan sangat membantu 
5.    Konstipasi berhubungan dengan imobilitas
Tujuan  : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien bisa BAB
KH      : 1.  Bising usus aktif dan klien bisa flatus
              2. Pola eliminasi kembali normal dalam 4 hari post op
Intervensi :
1)      Auskultrasi terhadap adanya bising usus
Rasional :  mengetahui motilitas usus
2)      Anjurkan latihan kaki dan pengencangan abdomen
Rasional :  Merangsang gerak usus
3)      Berikan pelunak feses
Rasional :  Mempermudah pengeluaran feses
4)      Anjurkan untuk minum sedikitnya 2 liter air / hari
Rasional : Keseimbangan antara intake dan output serta membantu merangsang peristalik
5)      Berikan diet tinggi serat
Rasional :  mempermudah proses defekasi
6.    Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan ansietas klien    berkurang / hilang
KH     :   Melaporkan takut dan ansietas menurun sampai tingkat dapat ditangani
Intervensi :
1)   Yakinkan informasi klien tentang diagnosa dan harapan intervensi pembedahan dan terapi yang akan datang, perhatikan adanya penolakkan.
Rasional :     Memberikan dasar pengetahuan perawat untuk menguatkan kebutuhan informasi dan membantu untuk mengidentifikasi klien dengan ansietas dan kebutuhan akan perhatian khusus.
2)   Berikan lingkungan, perhatian, keterbukaan dan penerimaan juga privacy untuk klien dan orang terdekat
Rasional: Waktu dan privacy diperlukan untuk memberi dukungan, diskusi tentang antisipasi kehilangan.
3)   Dorong pertanyaan dan berikan waktu untuk ekspresikan takut
Rasional :     Memberikan kesempatan untuk mendefinisikan dan memperjelas kesalahan konsep dan menawarkan dukungan emosi.
4)   Diskusikan atau jelaskan peran rehabilitas setelah pembedahan
Rasional :     Rehabilitasi adalah komponen terapi untuk memenuhi kebutuhan fisik sosial. Emosional dan vacasional sehingga klien dapat mencapai tingkah fisik dan fungsi emosis sebaik mungkin.
 
                             DAFTAR PUSTAKA
 
Doengoes, Merilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 2. EGC. Jakarta
 
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Media Ausculapius : Jakarta.
 
Manuaba. 2000. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetric Genikologi dan KB. EGC : Jakarta.
 
Ramali, A. 2001. Kamus Kedokteran.cetakan 24 Djambatan : Jakarta.

Tuesday 22 November 2011

askep BBLR

ASUHAN KEPERAWATAN PADA
BAYI BERAT BADAN LAHIR RENDAH
NUR ASNAH SITOHANG
Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
Tujuan kelahiran bayi ialah lahirnya seorang individu yang sehat dari seorang ibu yang sehat. Bayi lahir sehat artinya tidak mempunyai gejala sisa atau tidak mempunyai kemungkinan mendapatkan gejala yang penyebabnya dapat dicegah dengan pengawasan antenatal dan perinatal yang baik.
Sekarang telah banyak diketahui bahwa penyakit bayi baru lahir merupakan kelanjutan penyakit ibu atau disebabkan oleh kelainan pada kehamilan dan kelahiran. Tentang hubungan penyakit ibu dengan morbiditas janin secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut :
( 1 ) transmisi daripada bahan yang menyebabkan penyakit
( 2 ) menyebabkan induksi kelahiran prematuritas
( 3 ) menyebabkan perubahan pada status fisiologi janin
( 4 ) menyebabkan perubahan lingkungan intrauterine
( 5 ) efek farmakologis daripada obat yang diberikan pada ibu.
Akibat ekstrim daripada penyakit ibu pada janin ialah : abortus,kematian janin intra uterin,BBLR ( prematuritas,dismaturitas),kematian neonatal,kelainan congenital,morbiditas neonatal dan sekuele neurologist.
Khusus untuk masalah BBLR ,sampai saat ini masih banyak ditemukan bayi lahir dengan berat badan lahir rendah dengan berbagai penyebab. Dimana bayi BBLR akan mengalami banyak masalah yang akhirnya meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas pada bayi.
Untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas bayi karena BBLR tersebut menjadi tanggung jawab tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat., khususnya perawat anak dengan menggunakan pendekatan asuhan keperawatan .
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
1. Defenisi
Bayi berat badan lahir rendah ( BBLR ) adalah : bayi baru lahir yang berat badan lahirnya pada saat kelahiran kurang dari 2500 gram. Dahulu neonatus dengan berat badan lahir kurang dari 2500 gram atau sama dengan 2500 gram disebut prematur. Pada tahun 1961 oleh WHO semua bayi yang baru lahir dengan berat lahir kurang dari 2500 gram disebut Low Birth Weight Infants ( BBLR).
©2004 Digitized by USU digital library 1
Berdasarkan pengertian di atas maka bayi dengan berat badan lahir rendah dapat dibagi menjadi 2 golongan :
1.1. Prematuritas murni.
Adalah: bayi lahir dengan umur kehamilan kurang dari 37 minggu dan mempunyai berat badan sesuai dengan berat badan untuk masa kehamilan atau disebut Neonatus Kurang Bulan – Sesuai Masa Kehamilan ( NKB- SMK).
1. 2. Dismaturitas.
Adalah : bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk masa kehamilan, dismatur dapat terjadi dalam preterm, term, dan post term. Dismatur ini dapat juga: Neonatus Kurang Bulan – Kecil untuk Masa Kehamilan (NKB- KMK)
Neonatus Cukup Bulan-Kecil Masa Kehamilan ( NCB-KMK ), Neonatus Lebih Bulan-Kecil Masa Kehamilan ( NLB- KMK ).
2. Etiologi BBLR
2.1. Faktor Ibu.
a. Penyakit :
Penyakit yang berhubungan langsung dengan kehamilan misalnya :perdarahan antepartum, trauma fisik dan psikologis, DM,toksemia gravidarum, dan nefritis akut.
b. Usia ibu :
Angka kejadian prematuritas tertinggi ialah pada usia < 20 tahun, dan multi gravida yang jarak kelahiran terlalu dekat.Kejadian terendah ialah pada usia antara 26 – 35 tahun
c. Keadaan sosial ekonomi :
Keadaan ini sangat berperanan terhadap timbulnya prematuritas. Kejadian tertinggi terdapat pada golongan sosial ekonomi rendah.
Hal ini disebabkan oleh keadaan gizi yang kurang baik dan pengawasanantenatal yang kurang. Demikian pula kejadian prematuritas pada bayi yang lahir dari perkawinan yang tidak sah.ternyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi yang lahir dari perkawinan yang sah.
d. Sebab lain : ibu perokok, ibu peminum alkohol dan pecandu obat narkotik.
2.2. Faktor janin.
Hidramion, kehamilan ganda dan kelainan kromosom.
2.3. Faktor lingkungan
Tempat tinggal di dataran tinggi radiasi dan zat-zat racun.
©2004 Digitized by USU digital library 2
2.3. Patofisiologi
Faktor ibu:
• Keadaan gizi ibu
• Usia ibu
• Penyakit ibu
• Taksemia gravidarum
• Perdarahan anteoartum
• DM, Pre eklamsia
• Keadaan lain, perokok, alkohol, narkotik
• Golongan sosial ekonomi
Faktor janin
• Hidramion
• Kehamilan ganda
• Kelainan kromosom
Faktor lingkungan
• Tempat tinggal di dataran tinggi
• Radiasi
• Zat-zat racun
B B L R
• Sindrom aspirasi
• Akspiksia intra uterin janin
• Cairan amnion bercampur dengan mekonium dan lengket di paru janin
• Bayi tampak kurus
• Relatif lebih panjang
• Kulit longgar, jaringan lemak
Imaturias hepar
Gangguan Konjugasi hepar
Defisit albumin
Hiperbilirubinemia
• Resiko perubahan suhu
• Resiko kerusakan integritas kulit
• Masalah kolaborasi HIPOGLIKEMIA
• Prematur KDG < 20 mg/dl
• Matur KGD < 30 mg/dl
Bilirubin indirec
> 20 mg/dl
Kernicterus
• Letargi
• Kejang tonus otot meningkat, leher kaku kemampuan hisap menurun
Tanda:
• Pucat, tidak mau minum, lemah, apatis, kejang
©2004 Digitized by USU digital library 3
2.4. Penatalaksanaan prematuritas murni
Mengingat belum sempurnanya kerja alat-alat tubuh yang perlu untuk pertumbuhan dan perkembangan serta penyesuaian diri dengan lingkungan hidup di luar uterus maka perlu diperhatikan pengaturan suhu lingkungan, pemberian makanan dan bila perlu oksigen, mencegah infeksi serta mencegah kekurangan vitamin dan zat besi.
2.4.1. Pengaturan suhu badan bayi prematuritas/ BBLR
Bayi prematuritas dengan cepat akan kehilangan panas badan dan menjadi hipotermia, karena pusat pengaturan panas badan belum berfungsi dengan baik, metabolismenya rendah dan permukaan badan relatif luas oleh karena itu bayi prematuritas harus dirawat di dalam inkubator sehingga panas badannya mendekati dalam rahim. Bila bayi dirawat dalam inkubator maka suhu bayi dengan berat badan , 2 kg adalah 35 derajat celcius dan untuk bayi dengan berat badan 2-2,5 kg adalah 33-34 derajat celcius. Bila inkubator tidak ada bayi dapat dibungkus dengan kain dan disampingnya ditaruh botol yang berisi air panas, sehingga panan badannya dapat dipertahankan.
2.4.2. Makanan bayi prematur
Alat pencernaan bayi prematur masih belum sempurna, lambung kecil, enzim pencernaan belum matang, sedangkan kebutuhan protein 3-5 gr/kg BB dan kalori 110 kal/kg BB sehingga pertumbuhannya dapat meningkat.
Pemberian minum bayi sekitar 3 jam setelah lahir dan didahului dengan menghisap cairan lambung. Refleks menghisap masih lemah,sehingga pemberian minum sebaiknya sedikit demi sedikit, tetapi frekwensi yang lebih sering. ASI merupakan makanan yang paling utama,sehingga ASI lah yang paling dahulu diberikan. Bila faktor menghisapnya kurang maka ASI dapat diperas dan diminumkan dengan sendok perlahan-lahan atau dengan memasang sonde menuju lambung. Permulaan cairan diberikan sekitar 50-60 cc/kg BB/ hari dan terus dinaikkan sampai mencapai sekitar 200 cc/kg BB/ hari.
2.4.3. Menghindari infeksi
Bayi prematuritas mudah sekali terkena infeksi, karena daya tahan tubuh yang masih lemah,kemampuan leukosit masih kurang dan pembentukan anti bodi belum sempurna. Oleh karena itu, upaya preventif sudah dilakukan sejak pengawasan antenatal sehinggatidak terjadi persalinan prematuritas ( BBLR). Dengan demikian perawatan dan pengawasan bayi prematuritas secara khusus dan terisolasi dengan baik.
2.5. Penatalaksanaan dismaturitas (KMK)
1. Pemeriksaan pertumbuhan dan perkembangan janin intra uterina serta menemukan gangguan pertumbuhan misalnya dengan pemeriksaan ultra sonografi.
2. Memeriksa kadar gula darah ( true glukose ) dengan dextrostix atau laboratorium kalau hipoglikemia perlu diatasi.
3. Pemeriksaan hematokrit dan mengobati hiperviskositasnya.
4. Bayi membutuhkan lebih banyak kalori dibandingkan dengan bayi SMK.
5. Melakukan tracheal-washing pada bayi yang diduga akan menderita aspirasi mekonium.
©2004 Digitized by USU digital library 4
6. Sebaiknya setiap jam dihitung frekwensi pernafasan danbila frekwensi lebih dari 60 x/ menit dibuat foto thorax.
5. Pemeriksaan diagnostik
1. Jumlah sel darah putih : 18.000/mm3, netrofil meningkat sampai 23.000-24.000/mm3, hari pertama setelah lahir (menurun bila ada sepsis ).
2. Hematokrit ( Ht ) : 43%- 61 % ( peningkatan sampai 65 % atau lebih menandakan polisitemia, penurunan kadar menunjukkan anemia atau hemoragic prenatal/perinatal ).
3. Hemoglobin (Hb) : 15-20 gr/dl (kadar lebih rendah berhubungan dengan anemia atau hemolisis berlebihan ).
4. Bilirubin total : 6 mg/dl pada hari pertama kehidupan, 8 mg/dl 1-2 hari, dan 12 mg/dl pada 3-5 hari.
5. Destrosix : tetes glukosa pertama selama 4-6 jam pertama setelah kelahiran rata-rata 40-50 mg/dl meningkat 60-70 mg/dl pada hari ketiga.
6. Pemantauan elektrolit ( Na, K, Cl ) : biasanya dalam batas normal pada awalnya.
7. Pemeriksaan Analisa gas darah.
6. Gambaran klinis
Menunjukkan belum sempurnanya fungsi organ tubuh dengan keadaannya lemah :
6.1. Fisik.
- bayi kecil
- pergrakan kurang dan masih lemah
- kepala lebih besar dari pada badan
- berat badan < 2500 gram
6.2. Kulit dan kelamin
- kulit tipis dan transparan
- lanugo banyak
- rambut halus dan tipis
- genitalia belum sempurna
6.3. Sistem syaraf
- refleks moro
- refleks menghisap, menelan, batuk belum sempurna
6.4. Sistem muskuloskeletal
- axifikasi tengkorak sedikit
- ubun-ubun dan satura lebar
- tulang rawan elastis kurang
- otot-otot masih hipotonik
- tungkai abduksi
- sendi lutut dan kaki fleksi
- kepala menghadap satu jurusan
6.5. Sistem pernafasan
- pernafasan belum teratur sering apnoe
- frekwensi nafas bervariasi
7. Komplikasi
1. Kerusakan bernafas : fungsi organ belum sempurna
2. Pneumonia, aspirasi : refleks menelan dan batuk belum sempurna
©2004 Digitized by USU digital library 5
3. Perdarahan intraventrikuler : perdarahan spontan di ventrikel otak lateral disebabkan anoksia menyebabkan hipoksia otak yang dapat menimbulkan terjadinya kegagalan peredaran darah sistemik.
8. Pengkajian dasar neonatus
8.1. Aktivitas/ istirahat
Bayi sadar mungkin 2-3 jam bebrapa hari pertama tidur sehari rata-rata 20 jam.
8.2. Pernafasan
Takipnea sementara dapat dilihat, khususnya setelah kelahiran cesaria atau persentasi bokong.
Pola nafas diafragmatik dan abdominal dengan gerakan sinkron dari dada dan abdomen, perhatikan adanya sekret yang mengganggu pernafasan, mengorok, pernafasan cuping hidung,
8. 3 . Makanan/ cairan
Berat badan rata-rata 2500-4000 gram ; kurang dari 2500 gr menunjukkan kecil untuk usia gestasi, pemberian nutrisi harus diperhatikan. Bayi dengan dehidrasi harus diberi infus. Beri minum dengan tetes ASI/ sonde karena refleks menelan BBLR belum sempurna,kebutuhan cairan untuk bayi baru lahir 120-150ml/kg BB/ hari.
8.4 . Berat badan
Kurang dari 2500 gram
8. 5. Suhu
BBLR mudah mengalami hipotermia, oleh sebab itu suhu tubuhnya harus dipertahankan.
8. 6. Integumen
Pada BBLR mempunyai adanya tanda-tanda kulit tampak mengkilat dan kering.
9. Diagnosa Keperawatan
9.1. Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan maturitas pusat pernafasan, keterbatasan perkembangan otot, penurunan energi/kelelahan, ketidakseimbangan metabolik
Tujuan : Menunjukkan pola nafas yang efektif.
Kriteria : RR normal 40-60 kali/menit, jalan nafas paten, irama reguler. ©2004 Digitized by USU digital library 6
INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
MANDIRI
1. Kaji frekwensi pernafasan dan pola pernafasan. Perhatikan adanya apnea dan perubahan frekwensi jantung, tonus otot dan warna kulit berkenaan dengan prosedur atau perawatan, lakukan pemantauan jantung dan pernafasan yang kontiniu.
2. Hisap jalan nafas sesuai kebutuhan.
3. Pertahankan suhu tubuh optimal
4. Posisikan bayi pada abdomen atau posisi terlentang dengan gulungan popok di bawah bahu untuk menghasilkan sedikit hiperekstensi.
1. Membantu dalam membedakan priode perputaran pernafasan yang normal dari serangan apnoe, yaitu terutama sering terjadi sebelum gestasi minggu ke-30.
2. Menghilangkan mukus yang menyumbat jalan nafas.
3. Hanya sedikit peningkatan atau penurunan suhu lingkungan dapat menimbulkan apnea.
4. Posisi ini dapat memudahkan pernafasan dan menurunkan episode apnoe, khususnya adanya hipoksia, asidosis metabolik atau hiperkapnea
KOLABORASI
1. Pantau pemeriksaan laboratorium (GDA, glukosa serum, elektrolit )
2. Berikan oksigen sesuai indikasi
1. Hipoksia,asidosis metabolik, hiperkapnea, hipoglikemia, hipopkalsemia, dan sepsis dapat memperberat serangan apnoe.
2. Perbaikan kadar oksigen dan karbondioksida dapat meningkatkan fungsi pernafasan.
9.2. Resiko tinggi tidak efektifnya thermoregulasi berhubungan dengan perkembangan SSP imatur (pusat regulasi suhu), penurunan rasio massa tubuh terhadap area permukaan, penurunan lemak sub kutan.
Tujuan : Mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal ( 36,4-37,4)
INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
MANDIRI
1. Kaji suhu dengan sering, periksa suhu rektal pada awalnya, selanjutnya periksa suhu aksila atau gunakan alat termostat dengan dasar terbuka dan penyebab hangat. Ulangi setiap 15 menit selama penghangatan ulang
1. Hiopotermia membuat bayi cenderung pada stress dingin, penggunaan simpanan lemak coklat yang tidak dapat diperbaharui bila ada dan penurunan sensitivitas untuk meningkatkan kadar CO2 (hiperkapnea) atau penurunan kadar O2 ( hipoksia )
©2004 Digitized by USU digital library 7
2. Tempatkan bayi pada isolette, penghangat, inkubator, tempat tidur terbuka dengan penyebar hangat, atau tempat tidur terbuka dengan pakaian tepat untuk bayi yang lebih besar atau lebih tua gunakan bantalan pemanas di bawah bayi bila perlu dalam hubungannya dengan tempat tidur isolette atau terbuka.
3. Ganti pakaian atau linen tempat tidur bila basah, pertahankan kepala bayi tetap tertutup.
KOLABORASI
1. Kolaborasi pemberian D-10 W dan ekspander volume secara intra vena bila diperlukan
2. Berikan obat-obatan sesuai indikasi fenobarbital, natrium bikarbonat
2. Mempertahankan lingkungan termo netral membantu mencegah stress dingin.
3. Mencegah kehilangan cairan melalui evavorasi.
1. Pemberian dextrose mungkin perlu untuk memperbaiki hipoglikemia,hipotensi karena vasodilatasi perifer mungkin memerlukan tindakan pada bayi yang mengalami stress panas, hipertermia dapat menyebabkan peningkatan dehidrasi 3-4 kali lipat.
2. Membantu mencegah kejang berkenaan dengan perubahan fungsi SSP yang disebabkan oleh hipertermia, memperbaiki asidosis yang dapat terjadi pada hipotermia dan hipertermia.
9.3. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan immaturitas organ tubuh.
Tujuan : - Peningkatan berat badan 20-30 gr/hr
- Mempertahankan berat badan
©2004 Digitized by USU digital library 8
INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
MANDIRI
1. Timbang berat badan bayi saat menerima di ruangan perawatan dan setelah itu setiap hari.
2. Auskultasi bising usus, perhatikan adanya distensi abdomen, adanya tangisan lemah yang diam bila dirangsang oral diberikan dan perilaku menghisap.
3. Lakukan pemberian makan oral awal dengan 5-15 ml air steril, kemudian dextrose dan air sesuai protokol rumah sakit, berlanjut pada formula untuk bayi yang makan melalui botol.
KOLABORASI
Berikan glukosa dengan segera peroral atau intravena bila kadar dextrostik kurang dari 45 mg/dl.
1. Menetapkan kebutuhan kalori dan cairan sesuai dengan BB dasar yang sesuai/ normal turun sebanyak 5%-10 % dalam 3-4 hari pertama dari kehidupan karena keterbatasan masukan oral.
2. Indikator yang menunjukkan neonatus lapar.
3. Pemberian makanan awal membantu memenuhi kebutuhan kalori dan cairan khususnya pada bayi yang laju metabolismenya menggunakan 100- 120 kal/ kg BB setiap 24 jam.
Bayi mungkin memerlukan suplemen glukosa untuk meningkatkan kadar serum.
9.4. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kapiler rapuh dekat permukaan kulit.
Tujuan : Mempertahankan kulit utuh bebas dari cedera dermal.
Kriteria : Integritas kulit baik.
©2004 Digitized by USU digital library 9
INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
MANDIRI
1. Inspeksi kulit, perhatikan area kemerahan atau tekanan.
2. Berikan perawatan mulut dengan menggunakan salin atau gliserin scrab.
3. Berikan latihan gerak, perubahan posisi rutin dan bantal bulu domba atau terbuat dari bahan yang lembut.
4. Mandikan bayi dengan menggunakan air steril dan sabun meminimalkan manipulasi kulit bayi.
KOLABORASI
1. Berikan salep antibiotika.
2. Hindari penggunaan agen topikal keras, cuci tangan dengan hati-hati dengan fovidon setelah prosedur.
1. Mengidentifikasi area potensial kerusakan dermal, yang dapat mengakibatkan sepsis.
2. Membantu mencegah kekeringan dan pecah pada bibir.
3. Membantu mencegah kemungkinan nekrosis berhubungan denganedema dermis di atas penonjolan tulang.
4. Setelah beberapa (empat ) hari, kulit mengalami beberapa sifat bakterisidal karena pH asam.
1. Meningkatkan pemulihan pecah-pecah dari iritasi berkenaan dengan pemberian oksigen, dapat membantu mencegah infeksi.
2. Membantu mencegah kerusakan kulit dan kehilangan barrier pelindung epidural.
©2004 Digitized by USU digital library 10
9.5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan respon imun imatur.
Tujuan : Tidak terjadi infeksi.
Kriteria : Leukosit normal, tali pusat tidak ada tanda-tanda infeksi.
INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
MANDIRI
1. Tingkatkan cara-cara mencuci tangan pada staf, orang tua dan pekerja lain.
2. Pantau pengunjung akan adanya lesi kulit.
3. Kaji bayi terhadap tanda-tanda infeksi, misalnya : suhu, letargi atau perubahan perilaku.
4. Lakukan perawatan tali pusat sesuai ocal l rumah sakit.
5. Berikan ASI untuk pemberian makan bila tersedia.
KOLABORASI
Berikan antibiotika sesuai indikasi
1. Mencuci tangan adalah praktik yang penting untuk mencegah kontaminasi.
2. Penularan penyakit pada neonatus dari pengunjung dapat terjadi secara langsung.
3. Bermanfaat dalam mendiagnosa infeksi.
4. Penggunaan ocal l ocal, triple dye dapat membantu mencegah kolonisasi.
5. ASI mengandung Ig. A, makrofag, limfosit dan netropil yang memberikan beberapa perlindungan dari infeksi.
Mengatasi infeksi pernafasan atau sepsis.
BAB III
KESIMPULAN
Bayi berat badan lahir rendah adalah bayi baru lahir yang berat badan lahirnya pada saat kelahiran kurang dari 2500gr. BBLR dapat dibagi 2 golongan yaitu :
1. prematuritas murni
2. dismaturitas
Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah sering mengalami masalah sukar bernafas, sukar dalam pemberian munim,ikterus berat dan infeksi.Bayi juga rentan menalami hipotermi jika tidak dalm incubator. Bayi ini memerlukan perawatan khusus. Bila fasilitas tempat bayi dilahirkan tidak memadai untuk perawatan bayi, maka bayi harus segera dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas khusus untuk bayi yang lahir dengan berat badan rendah. Selama perjalanan ke tempat rujukan pastikan bahwa bayi terjaga tetap hangat . Bungkus bayi dengan kain lembut,kering,selimuti dan pakai topi untuk menghindari kehilangan panas.
Prognosis BBLR akan baik bila ditangani dengan cepat dan perawatan yang intensif.
©2004 Digitized by USU digital library 11
DAFTAR PUSTAKA
Bobak,Maternal Nursing Cae Plans,Mosby Company,1999
Ennis Sharon Axton,Pediatric Nursing Care Plans,2nd Edition,Pearson Education,New Jersey,2003
Nelson, Ilmu Kesehatan Anak I, Jakarta, EGC 1999
Whaley’s and Wong, Clinic Manual of Pediatric Nursing,4th Edition,Mosby Company,1996
Whaley and Wong,Pediatric Nursing Care Plans,Mosby Company,1999
Sowden Betz Cicilia, , Keperawatan Pediatric, Jakarta, EGC, 2002
Arvin, B.K (1999 ), Ilmu kesehatan anak, Jakarta ; EGC
Corwin, E.J ( 2001 ), Buku saku patofisiologi, editor, Endah P, Jakarta ; EGC
Doengoes, M. dkk, 2001, Rencana perawatan maternal/bayi, Ed 2, Jakarta; EGC
Manuaba, I.B,G 91998 ), Ilmu kebidanan, penyakit kandungan dan keluarga berencana, Jakarta ; EGC.
Mocthar, R, (1989 ), Sinopsis obstetri, Jakarta ; EGC.
Ngastiyah ( 1997 ), Perawatan anak sakit, Jakarta ; EGC.
Suriadi, dkk ( 2001 ), Asuhan keperawatan pada anak, Ed. I, Jakarta; EGC
Tucker, SM, dkk ( 1998 ), standart perawatan pasien, Ed. V, Jakarta ; EGC

Monday 21 November 2011

asma


A. Latar Belakang Masalah
Asma berasal dari bahasa Yunani yang artinya terengah-engah atau napas pendek. Asma adalah keadaan yang menunjukan respon abnormal saluran napas terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan penyempitan jalan napas yang meluas. Penyempitan tersebut menyebabkan obstruksi aliran udara dan wheezing/mengik. Kelainan dasarnya tampaknya suatu perubahan status imunologis penderita. Asma mudah ditimbulkan oleh berbagai rangsang yang menunjukan suatu keadaan hiperaktivitas bronkus yang khas (Chandrasoma, 2006; Price dan Wilson, 2006).
Patogenesis asma dapat dijelaskan dari segi imunologis dimana asma merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I. Berbagai mediator yang dihasilkan oleh sel-sel radang dapat menimbulkan manifestasi klinis.
B. Definisi Masalah
Keluhan utama : batuk yang tidak berkurang sejak 3 hari, mula tidak berdahak, sekarang berdahak.
Keluhan penyerta : sesak napas, demam.
Riwayat : perempuan umur 20 tahun, sebelumnya membersihkan rak penuh debu; kakak penderita memderita penyakit paru kronik dengan rontgen honeycomb appereance, tidak wheezing.
Pemeriksaan fisik : auskultasi wheezing jelas.
C. Tujuan Penulisan
1. mahasiswa mampu menjelaskan ilmu-ilmu dasar tentang respirasi meliputi anatomi, fisiologi, dan histologi.
2. mahasiswa mampu menjelaskan simptom dan sign penyakit sistem respirasi.
3. mahasiswa mampu menjelaskan mekanisme terjadinya kelainan sel/organ pada penyakit sistem respirasi.
D. Manfaat Penulisan
Dapat membantu mahasiswa memahami dan mencapai tujuan pembelajaran blok sistem respirasi.
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi, Fisiologi, dan Histologi Sistem Respirasi
Secara umum saluran udara pernapasan adalah sebagai berikut : dari nares anterior menuju ke cavitas nasalis, choanae, nasopharynx, larynx, trachea, bronchus primarius, bronchus secundus, bronchus tertius, bronchiolus, bronchiolus terminalis, bronchiolus respiratorius, ductus alveolaris, atrium alveolaris, sacculus alveolaris, kemudian berakhir pada alveolus tempat terjadinya pertukaran udara (Budiyanto, dkk, 2005).
Tractus respiratorius dibagi menjadi 2 bagian : (1) zona konduksi, dari lubang hidung sampai bronciolus terminalis, (2) zona respiratorik, mulai dari bronciolus respiratorius sampai alveolus. Zona konduksi berfungsi sebagai penghangat, pelembab, dan penyaring udara pernapasan. Zona respiratorik untuk pertukaran gas (Guyton, 1997).
Respirasi terdiri dari dua mekanisme, yaitu inspirasi dan ekspirasi. Pada saat inspirasi costa tertarik ke kranial dengan sumbu di articulatio costovertebrale, diafragma kontraksi turun ke caudal, sehingga rongga thorax membesar, dan udara masuk karena tekanan dalam rongga thorax yang membesar menjadi lebih rendah dari tekanan udara luar. Sedangkan ekspirasi adalah kebalikan dari inspirasi (Ganong, 1999).
Respirasi melibatkan otot-otot regular dan otot bantu. Otot reguler bekerja dalam pernapasan normal, sedang otot bantu atau auxiliar bekerja saat pernapasan sesak. Otot reguler inspirasi : m. Intercostalis externus, m. Levator costae, m. Serratus posterior superior, dan m. Intercartilagineus. Otot auxiliar inspirasi : m. Scaleni, m. Sternocleidomastoideus, m. Pectoralis mayor et minor, m. Latissimus dorsi, m. Serrarus anterior. Otot reguler ekspirasi : m. Intercostalis internus, m. Subcostalis, m. Tranversus thorachis, m. Serratus posterior inferior. Otot auxiliar ekspirasi : m. Obliquus externus et internus abdominis, m. Tranversus abdominis, m. Rectus abdominis (Syaifulloh, dkk, 2008).
Secara histologis, saluran napas tersusun dari epitel, sel goblet, kelanjar, kartilago, otot polos, dan elastin. Epitel dari fossa nasalis sampai bronchus adalah bertingkat toraks bersilia, sedang setelahnya adalah selapis kubis bersilia. Sel goblet banyak terdapat di fossa nasalis sampai bronchus besar, sedang setelahnya sedikit sampai tidak ada. Kartilago pada trakea berbentuk tapal kuda, pada bronkiolus tidak ditemukan dan banyak terdapat elastin (Carlos Junqueira, dkk, 1998).
Tanda dan Gejala Kelainan Respirasi
Dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas ditandai dengan napas yang pendek dan penggunaan otot bantu pernapasan. Dispnea dapat ditemukan pada penyakit kardiovaskular, emboli paru, penyakit paru interstisial atau alveolar, gangguan dinding dada, penyakit obstruktif paru (emfisema, bronkitis, asma), kecemasan (Price dan Wilson, 2006).
Parenkim paru tidak sensitif terhadap nyeri, dan sebagian besar penyakit paru tidak menyebabkan nyeri. Pleura parietalis bersifat sensitif, dan penyakit peradangan pada pleura parietalis menimbulkan nyeri dada.
Batuk adalah gejala umum penyakit pernapasan. Hal ini disebabkan oleh (1) stimulasi refleks batuk oleh benda asing yang masuk ke dalam larink, (2) akumulasi sekret pada saluran pernapasan bawah. Bronkitis kronik, asma, tuberkulosis, dan pneumonia merupakan penyakit dengan gejala batuk yang mencolok (Chandrasoma, 2006).
Pemeriksaan sputum/ dahak sangat berguna untuk mengevaluasi penyakit paru. Sediaan apusan gram dan biakan sputum berguna untuk menilai adanya infeksi. Pemeriksaan sitologi untuk sel-sel ganas. Selain itu, dari warna, volum, konsistensi, dan sumber sputum dapat diidentifikasi jenis penyakitnya.
Hemoptisis adalah batuk darah atau sputum dengan sedikit darah. Hemoptisis berulang biasanya terdapat pada bronkitis akut atau kronik, pneumonia, karsinoma bronkogenik, tuberkulosis, bronkiektasis, dan emboli paru.
Jari tabuh adalah perubahan bentuk normal falanx distal dan kuku tangan dan kaki, ditandai dengan kehilangan sudut kuku, rasa halus berongga pada dasar kuku, dan ujung jari menjadi besar. Tanda ini ditemukan pada tuberkulosis, abses paru, kanker paru, penyakit kardiovaskuler, penyakit hati kronik, atau saluran pencernaan. Sianosis adalah berubahnya warna kulit menjadi kebiruan akibat meningkatnya jumlah Hb terreduksi dalam kapiler (Price dan Wilson, 2006).
Ronki basah berupa suara napas diskontinu/ intermiten, nonmusikal, dan pendek, yang merupakan petunjuk adanya peningkatan sekresi di saluran napas besar. Terdapat pada pneumonia, fibrosis, gagal jantung, bronkitis, bronkiektasis. Wheezing/ mengik berupa suara kontinu, musikal, nada tinggi, durasi panjang. Wheezing dapat terjadi bila aliran udara secara cepat melewati saluran napas yang mendatar/ menyempit. Ditemukan pada asma, bronkitis kronik, CPOD, penyakit jantung. Stridor adalah wheezing yang terdengar saat inspirasi dan menyeluruh. Terdengar lebih keras di leher dibanding di dinding dada. Ini menandakan obstruksi parsial pada larink atau trakea. Pleural rub adalah suara akibat pleura yang inflamasi. Suara mirip ronki basah kasar dan banyak (Reviono, dkk, 2008).
Etiologi dan Klasifikasi Asma
Secara etiologis asma bronkial dibagi menjadi 3 tipe : asma ekstrinsik, intrinsik, dan campuran. Pada golongan asma ekstrinsik, keluhan ada hubungannya dengan paparan alergen lingkungan yang spesifik. Kepekaan ini biasanya dapat ditimbulkan dengan uji kulit atau provokasi bronkial. Tipe ini memiliki sifat-sifat : timbul sejak kanak-kanak (<30 tahun), pada famili ada yang menderita asma atau alergi, ada eksim waktu bayi, sering menderita rinitis. Sedangkan asma tipe intrinsik, keluhan tidak ada hubungan dengan paparan terhadap alergen dan sifat-sifatnya ialah : serangan timbul setelah dewasa (>30 tahun), pada keluarga tidak ada yang menderita asma, sering disebabkan oleh infeksi, ada hubungan dengan beban fisik, bisa ditimbulkan oleh perubahan psikis dan cuaca (Amin, dkk, 1989; Price dan Wilson, 2006).
Patogenesis da Patofisiologi
Yang khas pada asma adalah penyempitan/ obstruksi proksimal dari bronkus kecil yang disebabkan oleh : spasme otot polos bronkus, edema mukosa bronkus, dan sekresi kelenjar bronkus meningkat. Pada asma ekstrinsik, antigen yang dihirup menyatu dengan IgE spesifik pada permukaan sel mast di dalam mukosa respiratorik dan melepaskan histamin. Mediator lain, seperti bradikinin, leukotrin, prostaglandin, dan faktor agregasi platelet juga diproduksi, menyebabkan bronkokonstriksi dan peradangan akut.
Perubahan akibat inflamasi pada penderita asma merupakan dasar kelainan faal. Kelainan patologi yang terjadi adalah obstruksi saluran napas, hiperesponsivitas saluran napas, kontraksi otot polos bronkus, hiperesekresi mukus, keterbatasan aliran udara yang ireversibel, eksaserbasi, asma malam dan analisis gas darah (Rahmawati, dkk, 2003).
Manifestasi Klinis
Asma bronkial dicirikan oleh serangan episodik dispnea, batuk yang memburuk pada malam hari, wheezing/ mengi, dapat menghasilkan sputum kental, lengket, sedikit. Pada serangan berat sering terdapat infeksi bakteri sekunder. Kadang penderita juga mengalami eksim, hay fever, atau riwayat keluarga dengan asma atau alergi atopik.
Diagnosis
Diagnosis ditegakan berdasarkan atas manifestasi klinis dan adanya tanda-tanda reaksi alergi dengan cara uji kulit dan atau uji provokasi bronkus. Uji radiologi tidak menunjukan tanda khas, uji faal paru ditandai dengan menurunnya FEV1.
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan asma adalah untuk menyelesaikan dan mengontrol manifestasi klinis dari penyakit untuk periode yang lama. Untuk mencapai tujuan tersebut ada 4 komponen terapi yang dibutuhkan, yaitu mengembangkan hubungan dokter-pasien, mengidentifikasi dan mengurangi paparan dari faktor risiko; memperkirakan, mengobati dan memonitor asma; dan mengendalikan serangan asma (GINA, 2007).
PEMBAHASAN

Pada kasus didapatkan perempuan berumur 20 tahun dengan keluhan batuk yang tidak berkurang sejak 3 hari yang lalu. Mulai tadi pagi batuk menjadi berdahak, terasa sesak napas, dan timbul demam. Maka dapat diketahui pada pasien terkumpul gejala-gejala penyakit pernapasan dan inflamasi.
Batuk merupakan upaya pertahanan paru terhadap berbagai rangsangan yang ada. Ini adalah refleks normal untuk melindungi tubuh. Refleks batuk terdiri dari 5 komponen utama : reseptor batuk, serabut saraf aferen, pusat batuk, susunan saraf eferen, dan efektor batuk. Reseptor batuk terdapat di larink, trakea, carina, dan daerah percabangan bronkus. Pada dasarnya mekanisme batuk dibagi menjadi 3 fase : inspirasi, kompresi, dan ekspirasi. Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat. Kemudian dimulailah fase kompresi dimana glotis akan tertutup selama 0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen meningkat. Lalu secara aktif glotis membuka dan berlangsung lah fase ekspirasi, udara terdorong keluar menimbulkan batuk. Batuk dapat ditemukan pada penyakit paru obstruktif (COPD, asma, bronkiektasis), penyakit paru restriktif, infeksi, tumor, dan lain-lain.
Dahak/ sputum diproduksi sel goblet dan epitel untuk mengikat kotoran/ benda asing yang masuk ke dalam saluran napas agar lebih mudah dikeluarkan oleh silia. Produksi dahak berlebih ditemukan pada penyakit paru obstruktif, infeksi, asma, dan lain sebagainya.
Sesak napas/ dispnea merupakan gejala penyakit kardiovaskuler, emboli paru, penyakit paru obstruktif dan restriktif, gangguan dinding dada, kecemasan. Pada penyakit obstruktif, dispnea terjadi karena terhalangnya udara saat masuk ke dalam paru akibat sempitnya jalan napas, begitu pun saat ekspirasi.
Pada kasus, pasien juga mengalami demam. Demam adalah salah satu tanda inflamasi dan infeksi. Demam berfungsi untuk mengoptimalkan kerja sel darah putih untuk menyingkirkan zat asing yang masuk ke dalam tubuh.
Bila hanya melihat gejala-gejala ini, semua penyakit yang disebutkan di atas memiliki kemungkinan. Namun, saat dihubungkan dengan hasil pemeriksaan fisik yang berupa wheezing, kemungkinan penyakit semakin sempit. Wheezing didapatkan pada asma, COPD, dan penyakit jantung kongestif. Maka diambil 2 kemungkinan terdekat yaitu asma dan COPD.
Meninjau riwayat penyakit keluarga, kakak pasien menderita penyakit paru kronik dengan gambaran rontgen thorax menunjukan gambaran honeycomb appereance, tetapi tidak pernah ditemukan wheezing. Dari ciri tersebut, kemungkinan kakak pasien menderita bronkiektasis.
Bronkiektasis adalah keadaan yang ditandai dengan dilatasi/ pelebaran bronkus dan bronkiolus. Timbul bila dinding bronkus melemah. Bahan-bahan purulen terkumpul pada bagian yang melebar ini mengakibatkan infeksi yang menetap. Biasanya bronkiektasis disebabkan oleh obstruksi bronkus jangka lama, penyakit fibrokistik pada pankreas; infeksi berulang dan sebagai komplikasi campak, batuk rejan, influenza; atau kelainan kongenital sindrom kartagener. Penyebab yang terakhir ini diturunkan sebagai gen resesif autosomal. Gambaran klinis uatam bronkiektasis adalah batuk kronik yang jarang, sputum mukopurulen berbau busuk, hemoptisis, pada tingkat lanjut penumonia rekuren, malnutrisi, jari tabuh.
Dari gambaran ini, disimpulkan bahwa penyakit pasien tidak ada hubungan genitas/ turunan dengan penyakit kakaknya. Dengan kata lain penyakit pasien berbeda dengan penyakit kakaknya.
Tinggal 2 kemungkinan penyakit pasien : asma dan COPD. COPD terkait dengan 2 keadaan patologis berbeda, yaitu bronkitis kronis dan emfisema. Bronkitis kronis didefinisikan sebagai keadaan peningkatan sekresi mukus bronkial menetap yang menyebabkan batuk kronis dan sputum mukoid. Emfisema adalah pembesaran permanen ruang udara distal dari bronkiolus terminal, biasanya disertai kerusakan parenkim paru. Kerusakan diyakini karena kerja enzim proteolitik yang berlebihan akibat defisiensi enzim alfa1-antiprotease.
Gambaran bronkitis : awitan 20-30 tahun, baru terdiagnosis ± 50 tahun; etiologi karena merokok, polusio udara, cuaca; sputum banyak sekali, dispnea lambat. Sedang gambaran emfisema : awitan 30-40 tahun, baru terdiagnosis ± 60 tahun; etiologi karena genetik, merokok, polusi udara; sputum sedikit, dispnea relatif dini.
Dari gambaran di atas, maka keadaan berbeda dengan pasien. Pasien baru berumur 20 tahun, batuk baru 3 hari, dan sudah terasa sesak. Oleh karena itu COPD sebagaipenyakit pasien dapat disingkirkan. Kemungkinan terdekat adalah asma. Hal ini didukung pula oleh riwayat pasien, dimana sebelum terjadi keluhan, pasien terpapar oleh debu saat membersihkan rak buku.
Menurut The Lung Association of Canada, ada 2 faktor yang menjadi pencetus asma :
  1. pemicu (trigger) yang mengakibatkan bronkokontriksi, antara lain : perubahan suhu dan cuaca, polusi udara, asap rokok, infeksi, emosi, olahraga.
  2. penyebab (inducer) yang mengakibatkan peradangan saluran napas (reaksi hipersensitivitas), yaitu alergen seperti tepung sari, debu, jamur, kotoran binatang.
Pada kasus, debu adalah sebagai faktor pencetus. Selain itu, asma terjadi pada usia < 30 tahun. Berarti pasien menderita asma tipe ekstrinsik.
Saat antigen (dalam debu) terhirup, akan terjadi ikatan dengan IgE spesifik. Lalu IgE akan berikatan pada reseptor Fc yang terdapat pada permukaan sel mastosit dan basofil. Interaksi antigen berulang dengan IgE akan mengaktifkan sel bersangkutan dan pelepasan berbagai mediator yang tersimpan dalam granula sitoplasma sel tersebut. Manifestasi klinik berupa bronkokontriksi, sekresi dahak adalah disebabkan aksi mediator tersebut.
Histamin berasal dari sintesis histidin dalam aparatus Golgi di sel mast dan basofil. Histamin mempengaruhi saluran napas melalui tiga jenis reseptor. Rangsangan pada reseptor H-1 akan menyebabkan bronkokonstriksi, aktivasi refleks sensorik dan meningkatkan permeabilitas vaskular serta epitel. Rangsangan reseptor H-2 akan meningkatkan sekresi mukus glikoprotein. Rangsangan reseptor H-3 akan merangsang saraf sensorik dan kolinergik serta menghambat reseptor yang menyebabkan sekresi histamin dari sel mast. Akhirnya, saluran napas menjadi menyempit sehingga timbulah sesak napas dan wheezing.
Demam pada pasien kemungkinan disebabkan oleh infeksi sekunder. Ketika pasien terpapar alergen dan menjadi batuk-batuk, daya tahan tubuh pasien menjadi melemah, sehingga lebih mudah terkena infeksi. Ditambah lagi dalam keluarganya (kakak pasien) menderita bronkiektasis dimana pada bronkiektasis terjadi infeksi menetap. Pasien dapat tertular oleh kuman dari kakaknya.
Adapun pada kasus, dokter memberi 2 macam obat yang berbeda. Obat-obat tersebut adalah jenis obat pelega atau bronkodilator untuk mengurangi sesak napas dan antibiotik untuk mengobati infeksi.
PENUTUP

KESIMPULAN
Tractus respiratorius dibagi menjadi 2 bagian : (1) zona konduksi, dari lubang hidung sampai bronciolus terminalis, (2) zona respiratorik, mulai dari bronciolus respiratorius sampai alveolus. Zona konduksi berfungsi sebagai penghangat, pelembab, dan penyaring udara pernapasan. Zona respiratorik untuk pertukaran gas.
Tanda dan gejala kelainan respirasi antara lain : dispnea, batuk, sputum, hemoptisis, nyeri dada, jari tabuh, ronki basah, wheezing, stridor, dan pleural rub.
Yang khas pada asma adalah penyempitan/ obstruksi proksimal dari bronkus kecil yang disebabkan oleh : spasme otot polos bronkus, edema mukosa bronkus, dan sekresi kelenjar bronkus meningkat. Pada asma ekstrinsik, antigen yang dihirup menyatu dengan IgE spesifik pada permukaan sel mast di dalam mukosa respiratorik dan melepaskan histamin. Mediator lain, seperti bradikinin, leukotrin, prostaglandin, dan faktor agregasi platelet juga diproduksi, menyebabkan bronkokonstriksi dan peradangan akut.
Perubahan akibat inflamasi pada penderita asma merupakan dasar kelainan faal. Kelainan patologi yang terjadi adalah obstruksi saluran napas, hiperesponsivitas saluran napas, kontraksi otot polos bronkus, hiperesekresi mukus, keterbatasan aliran udara yang ireversibel, eksaserbasi, asma malam dan analisis gas darah.
Pasien di atas menderita asma tipe ekstrinsik.
SARAN
Untuk dapat menegakan diagnosis penyakit pasien di atas perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang lain. Sebaiknya pada pasien dilakukan uji kulit dan uji provokasi bronkus untuk mengetahui tanda-tanda alergi. Selain itu, dilakukan uji faal paru dengan spirometri.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press.
Budianto, dkk. 2005. Guidance to Anatomy 2. Surakarta : Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS.
Carlos Junqueira, Jose Carniero, Robert Kelley. 1998. Histologi Dasar. Jakarta : EGC.
Chandrasoma dan Taylor. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi. Ed: ke-2. Jakarta : EGC.
Ganong, William F. 1999. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed: ke-17 . Jakarta: EGC.
GINA. 2007. Pocked Guide for Asthma Management and Prevention. www.ginasthma.com (5 Desember 2008)
Guyton, AC dan Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed: ke-9 . Jakarta: EGC.
Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed: Ke-6. Jakarta: EGC.
Rahmawati, dkk. 2003. Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Cermin Dunia Kedokteran No 141. Jakarta : CDK.
Reviono, dkk. 2008. Buku Pedoman Skills Lab Keterampilan Pemeriksaan Fisik Sistem Respirasi Semester III. Surakarta : FKUNS
Syaifulloh, dkk. 2008. Handout Respirasi. Surakarta : Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS

chitika